Kisah Nasib Guru Tidak Tetap (GTT)

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh arif
Jumat, 02 Januari 2009 04:56:22 Klik: 2280
KISAH KONDISI PENDIDIK
Hidup Miskin, Terjerat Nasib sebagai GTT
 
KOMPAS/MADINA NUSRAT / Kompas Images
Indah Dwi Astuti, salah seorang guru tidak tetap, menunjukkan kuitansi penerimaan upahnya sebesar Rp 89.697 per bulan di rumah orangtuanya di Desa Karangnanas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu ( 31/ 12).


"Orang mengira kemeja rapi dan sepatu mengilap yang kami kenakan setiap hari cermin kesejahteraan kami. Sebenarnya salah. Itu hanya karena kami harus mengajar dan mendidik,” tutur Hari Sudarto (29), Kamis (1/1).

Dengan gaji sebagai guru tidak tetap (GTT) Rp 200.000 per bulan dari dua sekolah menengah pertama tempatnya mengajar, penghasilan Hari tak lebih dari upah pembantu rumah tangga paruh waktu.

Hal tersebut menyebabkan kehidupan Hari dan keluarganya dalam keterbatasan. Selama enam tahun bekerja sebagai guru, dia masih menumpang di rumah mertuanya di Desa Karangnanas, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Di rumah mertuanya, Hari bukan satu-satunya orang berpenghasilan rendah. Istri, kakak, dan adik iparnya juga bernasib serupa. ”Kami, menantu maupun anak, belum mampu hidup sendiri karena penghasilan sebagai GTT sangat kurang,” kata Hari.

Menjadi GTT bukan keinginan Hari dan saudara-saudaranya. Tidak jelasnya sistem birokrasi pemerintah membuat mereka kesulitan menjangkau jenjang karier yang lebih baik.

Sukendro (34), kakak ipar Hari yang telah 10 tahun menjadi GTT, menuturkan, dia sudah dua kali mengikuti ujian, tetapi tetap tidak lulus.

Menurut dia, ujian guru honorer itu seperti untung-untungan. Sukendro mengaku mampu mengerjakan soal ujian yang ia rasa mudah. Tetapi, pengumuman kelulusan tidak mencantumkan skor sehingga dia tak pernah mengetahui mengapa tidak lulus.

Hal yang lebih menyedihkan, Sukendro dan para GTT lain tak memiliki daya tawar terhadap pengurus sekolah setiap kali memperjuangkan kenaikan upah. ”Konsekuensinya sering kali adalah pemecatan,” katanya.

Standar upah

Standar upah bagi GTT, menurut Triyuli (28) yang juga istri Hari, belum ada. Kalau buruh pabrik ada standar upah minimum kabupaten, untuk GTT tidak ada. ”Upah kami sangat tergantung kebijakan sekolah,” kata Triyuli.

Menurut Triyuli, sejak dikeluarkan larangan bagi sekolah negeri untuk merekrut GTT, lapangan pekerjaan pun semakin sempit. ”Peluang kami mengajar hanya di sekolah swasta. Padahal, jumlah GTT di Banyumas ada ribuan,” katanya.

Triyuli mempertanyakan nomor unik tenaga kependidikan yang diberikan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas. Menurut dia, nomor itu tidak memberikan dampak apa pun. Padahal, untuk memperoleh harus mengajukan ijazah universitas, data keluarga, dan beberapa persyaratan lain. ”Sudah diberi nomor itu pun, tak ada perubahan pada penghasilan kami,” ujarnya.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Banyumas, hingga akhir 2008, ada 4.700 guru non-pegawai negeri sipil di Banyumas yang terdiri dari guru honorer dan GTT.

Bantuan pusat

Menurut anggota staf Seksi Pengembangan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Wiharno, selama 2008 pemerintah pusat telah memberikan bantuan berupa bantuan peningkatan kesejahteraan bagi guru non-PNS sebesar Rp 150.000 per bulan dan bantuan fungsional Rp 200.000 per bulan, masing- masing diberikan untuk 13 bulan.

Namun, alokasi bantuan tersebut terbatas. Pemerintah pusat baru bisa memberikan untuk 3.247 guru non-PNS. Dana bantuan itu disalurkan lewat kantor pos dan akan dicairkan oleh pihak sekolah tempat para guru non-PNS menginduk.

”Untuk itu, kami berupaya agar guru non-PNS yang telah memiliki nomor unik bisa memperoleh bantuan tersebut. Kalau ada yang belum mendapatkan, silakan bertanya kepada sekolah setempat atau ke kami,” kataWiharno.

Sayangnya, para GTT seperti Hari dan saudara-saudaranya tidak berani untuk bertanya. ”Bagaimana mau bertanya kalau konsekuensinya dipecat oleh sekolah,” kata Hari.(***)

Sumber: kompas.com/ (Madina Nusrat)
Edisi: Jumat, 2 Januari 2009 

 
Berita Berita Terkini Lainnya