Membangun Sekolah Berkarakter

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh SUINDRA,S.Pd,MM
Rabu, 16 Nopember 2011 17:46:55 Klik: 8366

Penulis sengaja mengangkat judul diatas  untuk menterjemahkan impian penulis bahwa suatu saat nantik sekolah-sekolah di ranah Minang  ini masing-masing memiliki karakter dominan yang dapat menjadi pembeda satu sekolah dengan sekolah yang lain. Setiap sekolah memiliki ciri-ciri khas atau identitas sendiri-sendiri. Sehingga ketika kita berkunjung dari satu sekolah kesekolah yang lain memberikan kesan positif sesuai dengan karakternya masing-masing. Sudah semestinya sekolah mulai merancang sebuah regulasi yang berbasis karakter yang mampu mengakomudasi kemamampuan siswa secara utuh.

Pembelajaran dilaksanakan tidak saja hanya mengarah ke kemampuan koknitif semata tetapi mesti mengacu kepada kemampuan afektif dan psikomotorik. Saat penerimaan siswa baru pihak sekolah hendaknya telah mempunyai data yang dapat dipetakan berdsarkan bakat minat yang sesuai dengan kemampuan alamiah siswa(Netural investigation). Bakat minat yang terdata tersebut akan menjadi dasar penegembangan peserta didik untuk mampu bersaing secara global dengan tetap mempertimbangkan etika dan kepedulian yang tinnggi.

Sebenarnya untuk membangun  pendidikan yang berkarakter diranah minang ini tidak perlu lagi merujuk kemana-mana, karena ranah minang tercinta ini sudah menyediakan keragaman budaya dan religisitas yang tinggi. Sebagai contoh apabila kita bicara Kota padang  dikenal dengan kota bingkuang. Bukittinggi dikenal dengan kota sanjai,  Payokumbuah kota gelamai, Padang panjang kota serambi mekah, Pariaman kota sala dan budaya tabuiknya, Sijunjuang kota lansek manih, Batusangkar kota budaya, Pesisir selatan kota rabab, Solok kota beras.  Ternyata alam sudah menyediakan keragaman yang dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk menyelenggarakan pendidikan berkarakter disekolah.

Berbicara masalah karakter Wynne berpendapat bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai), yang lebih terfokus pada melihat tindakan atau tingkah laku. Sementara itu Aristoteles menyebutkan bahwa karakter terbentuk dalam diri setiap orang dikarenakan perbuatannya yang berulang-ulang dan sudah menjadi kebiasaan. Lebih lanjut dijelaskan Wynne bahwa karakter mengandung dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”. Seseorang baru bisa disebut sebagai “orang yang berkarakter” (a Person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.

                Merancang bangun suatu sistem pendidikan yang berkarakter memerlukan sebuah proses pendidikan yang holistik, simultan dan berkesinambungan. Dalam sistem pendidikan tersebut harus dikembangkan beberapa aspek “knowing to good, loving the good and acting the good”. Dengan kata lain sebuah lembaga pendidikan dikatakan telah memiliki sistem pendidikan yang berkarakter, apabila sistem pembelajarannya mengarahkan peserta didik untuk “tahu, mencintai dan melakukan hal-hal yang mulia atau berperilaku baik menurut ukuran normatif yang berlaku di tengah masyarakat”. (Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah)  Jadi bukan semata hanya mengasah kemampuan akademis peserta didik. Tentu kita sepakat buat apa memiliki lulusan yang cerdas namun tidak memiliki perilaku yang baik, bukan? (Bajalan paliaro kaki, manjangkau paliari tangan, mangecek paliaro lidah, tahu ereng jo gendeang tahu didahan nan kamalata rantiang nan ka maimpok)

Orang minang dikenal dengan masyarakat yang religious karena memiliki filosopi “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” suka merantau  (“Karakatau madang dulu babuah babungo balun marantau bujang dahulu dikampuang paguno balun”) dalam artian memilki jiwa bisnis dan suka melalang buana keseantero negeri. Masyarakat minang mudah bergaul dan tidak sulit beradaptasi  secara regional maupun internasional karena memiliki filosofi hidup  “Alam takambang jadi guru” artinya alam menyediakan sarana yang “Tak lapuak dek ujan ndak lakang dek paneh” yang dapat dijadikan sebagai tempat “mancaliak contoh kanan sudah macaliak tuah kanan manang”dalam meyelenggarakan pendidikan disekolah.

 Dalam kesehariannya masyarakat minang santun dalam berbahasa memilki filosofi “kok manyauak dihilia-hlia, kok manngecek dibawah-bawah, bajalan paliharo kaki, manjangkau paliharo tangan” dalam artian tidak ceroboh kerna “tidak mau kehilangan tongak dua kali”atau tidak mau ada “pisang berbuah dua kali”, sangat hati-hati dalam bergaul karena tidak mau “tajatuah dihimpok janjang”. Sangat peduli dengan sanak saudara karena “kalauk paku kacang balimbian, tampuruang lenggang lenggokan, dibaok orang kassaruaso, anak dipangku kamanakan dibimbimbiang jago nagari jan binaso”. Memilki rasa malu yang tinggi jika sanak saudaranya ditimpa masalah karena tidak mau “rumah gadang katirihan, maik tabujua diateh rumah, gadih rando ndak balaki”. Memelihara harta benda secara turun temnurun karena memilki ‘Pusako tinggi dan Pusako randah,memilki pandam jo pakuburan”. Berbudaya tinggi kerena memilki “adat nansabana adat dan adat nan taradat” yang sudah menjadi norma yang mengikat.

Masyarakat minang kompak dan suka bergotongroyong kerena punya karakter “kabuki samao mandaki, kalurah samao manurun”, saciok bak ayam sadanciang bak basi’, kabuki samo dapek angin, kalurah samo dapek aia”. Suka bermusyawarah untuk mendapatkan kata mufakat karena “duduak bsamao balapang-lapang, duduak surang basampi-sampik”, lamak sambah dipasambahan, lamak kato jo mupakaik”. Sehingga budaya demonstrasi bukanlah budaya minang. Orang minang sanagat arif dan bijaksana “tahu ereang jo gendeang, tau dahan nan kamaimpok, rantiang nan ka malata, tahu jo gabak dirimbo tando ka ujan, cewang dilangik tando kapneh, kilek baliuang lah kakaki, kilek camin lah kamuko”. Orang minang memiliki jiwa seni yang tinggi karena bisa menjadikan “cancang telerek manjadi ukia” sebagaimana megahnya ukiran rumah gadang” saluang jo rabab nan ka manyampaian”. Punya ilmu arsitektur yang tinggi sebagai mana “rumah gadang sambilan ruang salajang kudo balari, salapeh mato mamandang”.

Disadari atau tidak, saat ini berkembang fenomena “salah kaprah” yang ditunjukkan oleh sebagian besar penyelenggara pendidikan. Mereka mengembangkan pendidikan yang hanya berorientasi kepada pencapaian tertinggi nilai akademik dari para peserta didiknya. Hari-hari peserta didik “dijejali” dengan beragam pengetahuan akademik yang notabene hanya mengembangkan aspek kognitif peserta didik saja. Amat jarang ditemui penyelenggara pendidikan yang concern mengembangkan aspek afektif (yang bersifat perasaan) kepada peserta didiknya. Kalau boleh mengistilahkan, peserta didik tersebut diciptakan seperti “robot-robot modern”, cerdas namun tidak berperasaan. Jika sudah demikian, muncullah perilaku yang kaku, kejam dan tidak kreatif, hanya bisa berjalan ketika diinstruksikan oleh sebuah perintah, tidak memiliki inisiatif, daya inovasi dan daya nalar yang handal untuk mengembangkan diri.

Secara teoritis dapat dikatakan bahwa jika aspek kognitif dan afektif memiliki porsi yang seimbang untuk dikembangkan pada peserta didik, maka yang bersangkutan akan secara alamiah merepresentasikan aspek psikomotoriknya dengan baik. Kombinasi pengembangan kecerdasan (kognitif) yang baik dan perasaan (afektif) yang baik akan melahirkan perilaku (psikomotorik) yang baik. Singkatnya perilaku peserta didik terbentuk dari kombinasi kemampuan mengelola aspek kognitif dan afektifnya.

Oleh karena itu jika sebuah lembaga pendidikan ingin menghasilkan lulusan yang memiliki perilaku yang sesuai dengan kaidah normatif yang berlaku di masyarakat pada umumnya, maka galilah dan tumbuhkembangkanlah secara baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik para peserta didik.

 

Inilah yang dinamakan sekolah berkarakter, dimana sekolah  mengembangkan sistem pendidikan dengan memperhatikan dan mengembangkan aspek kecerdasan (kognitif), perasaan (afektif) dan perilaku (psikomotorik) peserta didik secara seimbang  (Boedhi Santoso, dalam sekolah kaya warna)

Sekolah yang mampu membangun kebiasaan atau karakter  tertentu akan  muncul sosok yang indah untuk tidak hanya sekedar dilihat tapi juga “indah” cara berfikirnya, “indah” akan perasaannya dan “indah” perilakunya. Penumbuhkembangan cara berfikir, berperasaan dan berperilaku yang baik secara berulang-ulang dan dijadikan kebiasaan akan bermuara pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang kuat dan utuh.

Pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pada sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membangun karakter peserta didik seutuhnya. Penulis lebih suka membahasakan pernyataan ini dengan membangun peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu mampu merepresentasikan keseimbangan yang baik antara pemikiran (kognitif), perasaan (afektif) dan perbuatan (psikomotorik).

Prof. Drs. H. Dakir menyebutkan juga bahwa kepribadian yang ada pada manusia terdiri dari sembilan hal yaitu ketaqwaan, kecerdasan, kesusilaan, kejujuran, kekreatifan, kesehatan, keterampilan, kemasyarakatan dan kemandirian. Kesembilan hal tersebut yang semestinya dikembangkan dan dienkulturasi pada diri peserta didik ketika mereka “sekolah” di lembaga pendidikan tingkat apapun, agar mereka memiliki kepribadian yang kuat. Kesembilan hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Ketaqwaan, maksudnya manusia berasal dari Tuhan, perlu bertaqwa pada pencipta-Nya, tetapi jangan sampai bersifat fanatik dan dogmatis
  2. Kecerdasan, maksudnya aspek pribadi dari cipta yang berpusat di otak perlu dikembangkan, tetapi jangan sampai bersifat rasionalistis
  3. Kesusilaan, maksudnya, aspek pribadi dari karsa yang bersifat di hati, perlu dibina, tetapi jangan bersifat emosionalistis
  4. d. Kejujuran, maksudnya aspek pribadi dari karsa yang menyebabkan kita berkemampuan untuk berbuat, perlu bimbingan yang positif, tetapi jangan sampai bersifat voluntaristis
  5. Kekreatifan, maksudnya karya yang harmonis dari ketiga aspek cipta, rasa dan karsa akan menghasilkan sesuatu yang baru, perlu dilatih dan dibina sesuai dengan bakat dan minat anak, tetapi jangan sampai bersifat sombong.
  6. Kesehatan, maksudnya aspek yang sangat dibutuhkan oleh raga, perlu dilatih dan dibiasakan hidup sehat, tetapi jangan sampai bersifat animilistis
  7. Keterampilan, maksudnya karya dari raga terutama dalam latihan otot perlu dilatih agar para siswa dapat prigel dan dapat hidup mandiri, tetapi jangan bersifat kurang pertimbangan akal
  8. Kemasyarakatan, maksudnya manusia tidak pernah hidup sendiri, pasti butuh pertolongan orang lain, hidup bermasyarakat perlu dibina, namun jangan sampai bersifat alruistis
  9. Kemandirian, maksudnya manusia sebagai mahluk individu mempunyai sifat individual berbeda antara satu dengan yang lain, perlu dibina terutama dalam bakat dan minatnya hendaknya dijaga jangan sampai menjadi manusia egois.

 

 Oleh SUINDRA,S.Pd,MM

SMP NEGERI 1 PADANG

            

 
Berita Artikel Lainnya